Para Suami Bersedekahlah Terhadap Istri di Hari Jum’at

Tausiah Islam - Yang dimaksud dengan “bersedekah” di sini merupakan
hubungan suami istri. Jima’ alias hubungan hubungan suami istri dalam pandangan Islam bukanlah faktor aib dan hina yang wajib dijauhi oleh seorang muslim yang ingin menjadi hamba yang mulia di segi Allah. Faktor ini tak sama dengan pandangan agama lain yang menilai persetubuhan sebagai sesuatu yang hina. Bahkan, sebagian aliran agama tertentu mewajibkan untuk menjauhi pernikahan dan jima guna mencapai derajat tinggi dalam beragama.
Baca Juga : Ini Dia 12 Kriteria Pakaian Muslimah

Para Suami Bersedekahlah Terhadap Istri di Hari Jum’at

Bersedekahlah Kepada Istri di Hari Jum’at

Diriwayatkan dalam shahihain, dari Anas bin Malik sempat menceritakan, ada tiga orang yang datang ke rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan mengenai ibadah beliau. Ketika diberitahukan, seakan-akan mereka saling bertukar pikiran dan saling bercakap bahwa mereka tak bisa menyamai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebab dosa beliau yang lalu dan bakal datang telah diampuni. Lalu salah seorang mereka bertekad bakal terus-menerus shalat malam tanpa tidur, yang satunya bertekad bakal semakin berpuasa setahun penuh tanpa bolong, dan satunya lagi bertekad bakal menjauhi wanita dengan tak bakal menikah untuk selama-lamanya. Berita inipun hingga ke telinga tuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliu bersabda terhadap mereka,
Baca Juga : BILA DO’AMU TAK KUNJUNG BERJAWAB

“Apakah anda yang mengatakan begini dan begitu? Adapun saya, Demi Allah, merupakan orang yang paling takut dan paling takwa terhadap Allah di bandingkan kalian, tapi saya berpuasa dan juga berbuka, saya shalat (malam) dan juga tidur, dan melamar berbagai wanita. Siapa yang membenci sunnahku bukan tahap dari umatku.” (Muttafaq ‘alaih)

Bahkan dalam hadits lain disebutkan bahwa seks alias hubungan badan di jalan yang benar bakal mendatangkan pahala besar. Diriwayatkan dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا


“Dan pada kemaluan (persetubuhan) anda tersedia sedekah. Mereka (para sahabat) bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah salah seorang dari kita yang menyalurkan syahwatnya lalu dirinya memperoleh pahala?’ Beliau bersabda, ‘Bagaimana pendapat anda seandainya faktor tersebut disalurkan pada tempat yang haram, bukankah baginya dosa? Demikianlah halnya apabila faktor tersebut diletakkan pada tempat yang halal, jadi dirinya memperoleh pahala.” (HR. Muslim)

Ibnul Qayyim, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Istambuli dalam Tuhfatul ‘Arus, mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengundang terhadap umatnya supaya melaksanakan pernikahan, bahagia dengannya dan menginginkan (padanya) sebuah pahala dan sedekah bagi yang telah melaksanakannya. Di dalam perkawinan tersedia kesempurnaan hidup, kenikmatan dan kebaikan terhadap sesama. Di samping itu, juga memperoleh pahala sedekah, sanggup menenangkan jiwa, menghapus pikiran kotor, menyehatkan menolak keinginan-keinginan yang buruk.”

Kesempurnaan nikmat dalam perkawinan dan jima’ bakal diraih oleh orang yang mencintai dan dengan keridlaan Rabbnya dan hanya mencari kenikmatan di sisinya dan menginginkan tambahan pahala untuk memperberat timbangan kebaikannya. Oleh sebab itu yang sangat disenangi syetan merupakan memisahkan suami dari kekasihnya dan menjerumuskan keduanya ke dalam tindakan yang diharamkan Allah.

Disebutkan dalam Shahih Muslim, bahwa Iblis membangun istana di atas air (tipu muslihat), kemudian menyebarkan istananya itu terhadap manusia. Lalu iblis mendekatkan rumah mereka dan membesar-besarkan keinginan (hayalan) mereka. Iblis berkata, ‘Tidak ada perubahan kenikmatan hingga terjadi perzinaan’. Yang lainnya berkata, ‘Aku tak bakal berpaling hingga mereka berpisah dari keluarganya.’ Jadi iblis menenangkannya dan menjadikan dirinya berseru, ‘Benarlah apa yang telah engkau lakukan’.

Kenapa Iblis begitu bersemangat untuk menjerumuskan orang ke dalam perzinaan dan perceraian? Sebab pernikahan dan berjima dalam balutan perkawinan merupakan sangat dicintai Allah dan Rasul-Nya. Makanya faktor ini sangat dibenci oleh musuh manusia. Ia rutin berusaha memisahkan pasangan yang berada berada dalam naungan ridla ilahi dan berusaha menghiasi mereka dengan segala sifat kemungkaran dan tindakan keji dan menciptakan kejahatan di tengah-tengah mereka.

Untuk itu hendaknya bagi suami-istri supaya mewaspai keinginan syetan dan usahanya dalam memisahkan mereka berdua. Ibnul Qayim mengatakan dalam menta’liq hadits anjuran menikah bagi pemuda yang telah ba’ah, “Setiap kenikmatan menolong terhadap kenikmatan akhirat, yaitu kenikmatan yang disenangi dan diridlai oleh Allah.”

Seorang suami dalam aktifitasnya bersama istrinya bakal memperoleh kenikmatan melewati dua arah. Pertama, dari segi kebahagiaan suami yang merasa bahagia dengan hadirnya seorang istri jadi perasaan dan juga penglihatannya merasakan kenikmatan tersebut. Kedua, dari segi hingganya terhadap ridla Allah dan memberikan kenikmatan yang sempurna di akhirat.

Oleh sebab itu, telah selayaknya bagi orang berakal untuk menggapai keduanya. Bukan sebaliknya, menggapai kenikmatan semu yang beresiko mendatangkan penyakit dan kesengsaraan dan menghapus kenikmatan besar baginya di akhirat. (Lihat: Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Muhibbin, hal. 60)

Jima’ di hari Jum’at

Uraian keutamaan hubungan suami istri di atas sebetulnya telah lumayan menunjukkan pahala besar dalam aktifitas ranjang. Lalu adakah dalil khusus yang menunjukkan keutamaan melakukan jima’ di hari Jum’at dengan pahala yang lebih berlipat?

Memang tak sedikit pembicaran dan percakapan yang mengarah ke sana bahwa seakan-akan malam Jum’at dan hari Jum’at merupakan waktu yang tepat untuk melakukan hubungan suami-istri. Keduanya bakal memperoleh pahala berlipat dan memperoleh keutamaan khusus yang tak didapatkan pada hari selainnya. Kesimpulan tersebut tak bisa disalahkan sebab ada berbagai dalil pendukung yang menunjukkan keutamaan mandi janabat pada hari Jum’at. Sedangkan mandi janabat ada dan dilakukan seusai ada aktifitas percintaan suami-istri.

Dari Abu Hurairah radliyallhu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ


“Barangsiapa mandi di hari Jum’at semacam mandi janabah, kemudian datang di waktu yang pertama, ia semacam berkurban seekor unta. Barangsiapa yang datang di waktu yang kedua, jadi ia semacam berkurban seekor sapi. Barangsiapa yang datang di waktu yang ketiga, ia semacam berkurban seekor kambing gibas. Barangsiapa yang datang di waktu yang keempat, ia semacam berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang datang di waktu yang kelima, jadi ia semacam berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar (dan mengawali khutbah), malaikat hadir dan ikut mendengarkan dzikir (khutbah).” (HR. Bukhari no. 881 Muslim no. 850).

Para ulama mempunyai ragam pendapat dalam memaknai “ghuslal janabah” (mandi janabat). Sebagaian mereka menganggap bahwa mandi tersebut merupakan mendi janabat jadi disunnahkan bagi seorang suami untuk menggauli istrinya pada hari Jum’at. sebab faktor itu lebih bisa membantunya untuk menundukkan pandangannya ketika pergi ke masjid dan lebih membikin jiwanya tenang dan bisa melaksanakan mandi besar pada hari tersebut. Pemahaman ini sempat disebutkan oleh Ibnu Qudamah dari Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dan juga disebutkan oleh sekelompok ulama Tabi’in. Imam al-Qurthubi berkata, “sesungguhnya dirinya merupakan pendapat yang peling tepat.” (Lihat: Aunul Ma’bud: 1/396 dari Maktabah Syamilah)

Pendapat di atas juga mendapat penguat dari riwayat Aus bin Aus radliyallah ‘anhu yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا

“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, pergi lebih awal (ke masjid), berlangsung kaki dan tak berkendaraan, mendekat terhadap imam dan mendengarkan khutbahnya, dan tak berbuat lagha (sia-sia), jadi dari setiap langkah yang ditempuhnya dirinya bakal memperoleh pahala puasa dan qiyamulail setahun.” (HR. Abu Dawud no. 1077, Al-Nasai no. 1364, Ibnu Majah no. 1077, dan Ahmad no. 15585 dan sanad hadits ini dinyatakan shahih)

Menurut penjelasan dari Syaikh Mahmud Mahdi Al-Istambuli dalam Tuhfatul ‘Arus, bahwa yang dimaksud dengan mandi jinabat pada hadits di atas merupakan melaksanakan mandi bersama istri. Ini mengandung makna bahwa sebelumnya mereka melaksanakan hubungan badan jadi mengharuskan keduanya melaksanakan mandi. Hikmahnya, faktor itu disinyalir bisa menjaga pandangan pada saat keluar rumah untuk menunaikan shalat Jum’at. Adapun yang dimaksud dengan bergegas pergi menuju ke tempat pelaksanaan shalat Jum’at pada awal waktu, merupakan untuk memperoleh kehutbah pertama. (Lihat: Tuhfatul Arus dalam Edisi Indonesia Kado Perkawinan, hal. 175-176) Wallahu a’lam.(sedekahdoa)