Kisah Inspiratif: ‘Ipar itu Adalah Maut’

Kisah Inspiratif - Khalid duduk di ruang kerjanya dengan pikiran
yang diliputi kesedihan serta kegalauan. Shaleh, kawannya, memperhatikan kegalauan serta kesedihan itu di wajahnya. Ia berdiri dari mejanya serta mendekati Khalid, lalu mengatakan padanya:
Baca Juga : Inilah 10 Ciri- Ciri Wanita Calon Penghuni Neraka

Kisah Inspiratif: ‘Ipar itu Adalah Maut’

Ipar itu Adalah Maut

“Khalid, kami ini bergaul layaknya bersaudara sejak sebelum kami sama-sama bekerja. Aku perhatikan sejak seminggu ini rutin termenung, tidak konsentrasi. Engkau kelihatan begitu galau serta bersedih?”
Baca Juga : Apa Hukum Berdoa Di Media Sosial

Khalid terdiam sejenak. Kemudian ia berkata:

“Terima kasih atas kepedulianmu, Shaleh. Aku merasa terbukti memperlukan seseorang yang bisa mendengarkan persoalan serta kegelisahanku, siapa tahu itu bisa membantuku untuk mencari jalan keluarnya.”

Khalid membenahi duduknya, lalu menuangkan segelas teh terhadap kawannya, Shaleh. Kemudian ia mengatakan lagi:

“Masalahnya, wahai Shaleh, semacam yang engkau tahu aku sejak menikah 8 bulan lalu, aku serta istriku tinggal sendiri di sebuah rumah. Tetapi masalahnya adikku yang paling kecil, Hamd, yang berumur 20 tahun baru saja menyelesaikan SMA-nya serta diterima di salah satu universitas di sini. Dirinya bakal datang satu alias dua minggu lagi untuk mengawali kuliahnya.

Ayah serta ibuku memintaku bahkan mendesakku supaya Hamd bisa tinggal bersamaku di rumahku daripada ia wajib tinggal di asrama mahasiswa bersama teman-temannya. Mereka takut kelak dirinya terseret mengikuti kawan-kawannya!

Aku menolak faktor itu, sebab kamu tahu kan bagaimana seorang pemuda yang sedang puber semacam itu. Keberadaannya di rumahku bakal menjadi bahaya besar. Kami semua telah melalui masa remaja semacam itu.

Kita tahu betul bagaimana kondisinya. Apalagi aku terkadang keluar dari rumah, sementara ia bakal tetap berada di kamarnya. Mungkin juga aku berangkat untuk kemarin hari untuk urusan pekerjaan serta tidak sedikit lagi.

Aku wajib pula hinggakan padamu bahwa aku telah menanyakan terhadap salah seorang Syekh terkait persoalan ini, serta beliau mengingatkanku untuk tidak mengizinkan siapapun, walau itu saudaraku sendiri untuk tinggal bersamaku serta bersama istriku di rumah. Beliau mengingatkanku mengenai sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Ipar itu merupakan maut”

Maksudnya bahwa faktor paling berbahaya bagi seorang istri merupakan kerabat-kerabat dekat sang suami, semacam saudara serta pamannya, sebab mereka biasanya dengan mudah masuk ke dalam rumah. Serta tidak ada yang meragukan bahwa fitnah yang sangat besar serta berbahaya bisa terjadi di sini.

Lagi pula, engkau tentu tahu, wahai Shaleh, kami seringkali ingin berdua saja dengan istri di rumah supaya kami bisa beristirahat bersamanya dengan selapang-lapangnya. Serta ini telah tentu tidak bisa terwujud apabila adikku, Hamd, tinggal bersama kami di rumah.”

Khalid terdiam sejenak. Ia meneguk teh yang ada di depannya. Kemudian ia melanjutkan kembali ucapannya:

“Aku telah membahas semuanya terhadap ayah serta ibuku. Bahkan aku bersumpah bahwa yang aku inginkan merupakan kebaikan untuk adikku, Hamd. Tetapi mereka justru marah kepadaku, mereka menyerangku di depan semua keluarga, menganggapku telah durhaka, bahkan menyebutku berprasangka kurang baik terhadap adikku, padahal ia berpendapat istriku semacam kakaknya sendiri. Mereka mengira aku dengki pada adikku sebab aku tidak menghendaki ia melanjutkan pendidikan tingginya.”

“Yang lebih berat dari itu semua, wahai Shaleh, merupakan sebab ayahku telah mengancamku dengan mengatakan bahwa ini bakal menjadi citra kurang baik serta aib besar di tengah keluarga, sebab bagaimana adikku bisa tinggal bersama orang lain sementara rumahku ada. Ayahku mengatakan: “Demi Allah, apabila Hamd tidak tinggal bersamamu, aku serta ibumu bakal marah padamu hingga kami mati. Kami tidak sempat mengenalmu sejak hari ini, serta kami bakal berlepas diri darimu di dunia sebelum di akhirat”

Khalid menundukkan kepalanya sejenak, lalu kembali berujar:

“Sekarang aku sungguh bimbang tidak tahu berbuat apa. Dari satu sisi, aku ingin membahagiakan hati ayah serta ibuku, tapi di segi lain aku tidak ingin mengorbankan kebahagiaan keluargaku. Nah, kini bagaimana pandanganmu, wahai Shaleh, terhadap persoalan yang sangat berat ini?”

Shaleh membenahi duduknya. Ia kemudian mengatakan:

“Tentu engkau ingin mendengarkan pendapatku sejelas-jelasnya dalam persoalan ini, bukan? Karenanya izinkan aku untuk mengatakan kepadamu, wahai Khalid, bahwa engkau sangatlah seorang peragu serta bimbang.

Sebab apabila tidak begitu, untuk apa semua persoalan serta persoalan ini terjadi bersama kedua orang tuamu? Bukankah engkau tahu bahwa ridha Allah itu bergantung pada ridha kedua orang tua, begitu pula kemurkaan-Nya bergantung pada kemurkaan mereka berdua? Lagi pula apabila adikmu tinggal serumah denganmu, ia bakal membantumu menyelesaikan urusan rumah. Serta ketika engkau tidak ada di rumah untuk sebuah urusan, ia bakal menjaga rumahmu selagi engkau pergi.”

Shaleh sengaja diam sebentar. Ia ingin menonton bagaimana reaksi Khalid terhadap apa yang diucapkannya. Kemudian ia melanjutkan dengan mengatakan:

“Lagi pula aku ingin bertanya padamu: mengapa engkau berburuk sangka pada adikmu sendiri? Apa kamu lupa Allah melarang kami berburuk sangka terhadap orang lain? Coba katakan padaku: bukankah engkau percaya dengan istrimu? Bukankah engkau percaya terhadap adikmu?”

Khalid segera memotongnya:

“Aku percaya terhadap istriku serta juga adikku, tapi…”

Kita kembali lagi menjadi ragu serta percaya pada praduga-praduga…”, potong Shaleh. “Percayalah, wahai Khalid, adikmu Hamd bakal menjadi penjaga yang mandat untuk rumahmu, baik ketika engkau ada ataupun tidak. Ia tidak mungkin bakal mengganggu istri kakaknya sebab ia telah menganggapnya semacam kakaknya. Serta coba tanyakan pada dirimu sendiri, wahai Khalid, apabila adikmu Hamd kelak menikah, apakah engkau sempat berpikir untuk mengganggu istrinya? Aku yakin jawabnya tidak, bukan?

Lalu kenapa engkau wajib kehilangan ayahmu, ibumu serta saudaramu? Keluargamu bakal berpecah hanya sebab praduga-praduga semacam itu? Gunakanlah akal sehatmu. Buatlah ayah serta ibumu ridha supaya Allah juga ridha pada-Mu. Serta apabila engkau setuju, biarlah adikmu Hamd, tinggal di tahap depan dari rumahmu, kemudian kuncilah pintu pemisah antara tahap depan rumahmu dengan ruangan-ruangan lain.”

Khalid akhirnya bisa menerima penjelasan kawannya, Shaleh. Di hadapannya, ia tidak punya opsi tidak hanya menerima adiknya, Hamd untuk tinggal bersamanya di rumahnya.

Beberapa hari kemudian, Hamd pun tiba. Khalid menjemputnya di bandara. Mereka kemudian meluncur menuju rumah Khalid di mana Hamd bakal menempati tahap depannya. Serta semacam itulah yang terjadi selanjutnya.

Hari demi hari semakin berganti. Ia bergulit mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah. Serta saat ini kami telah berada di empat tahun seusai perisitiwa itu.

Kini Khalid telah genap berumur 30 tahun. Ia telah menjadi ayah bagi tiga orang anak. Sementara Hamd saat ini telah memasuki tahun terbaru perkuliahannya. Ia telah hampir menyelesaikan kuliahnya di universitas. Kakaknya, Khalid telah berjanji untuk mengupayakan pekerjaan yang layak untuk adiknya di universitas itu, serta membolehkannya tetap tinggal di rumah itu hingga ia menikah serta pindah dengan istrinya ke rumah tersendiri.

Pada sebuah malam, ketika Khalid baru saja pulang ke rumahnya dengan mengendarai mobilnya, ia melintas di jalan yang bertepian dengan rumahnya. Tiba-tiba dari jauh ia menonton semacam dua sosok hitam di pinggir jalan. Ketika ia mendekat, nyatanya seorang bunda tua dengan seorang gadis yang terbaring di tanah menangis kesakitan. Sementara sang bunda tua itu semakin berteriak meminta tolong:

“Tolong! Toloooong kami!”

Khalid sungguh heran dengan pemandangan itu. Rasa ingin tahunya mendorongnya untuk mendekat lebih dekat lagi serta bertanya mengapa mereka berdiri di pinggir jalan semacam itu.

Ibu tua itupun menceritakan padanya bahwa mereka bukanlah penduduk kota itu. Mereka baru sepekan saja berada di situ. Mereka tidak mengenal siapapun di sini, serta bahwa gadis itu merupakan anaknya, suaminya sedang berangkat ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Serta kini si anak itu mengalami sakit melahirkan sebelum waktunya.

Anaknya hampir mati sebab rasa sakit yang menarik itu, sementara mereka tidak menemukan seorang pun yang bisa mengantar mereka ke rumah sakit.

Ibu tua itu meminta tolong serta memohon-mohon padanya sembari mengucurkan air mata: “Tolonglah, aku bakal mencium kedua kakimu, bantulah aku serta anakku ke rumah sakita terdekat! Semoga Allah menjagamu, istrimu serta anak-anakmu dari semua musibah.”

Air mata bunda tua serta erangan kesakitan gadis itu membuatnya terenyuh. Ia sangatlah merasa kasihan. Serta sebab dorongan untuk menolong orang kesulitan, ia pun setuju untuk mengangkat mereka ke rumah sakit terdekat. Ia segera menaikkan mereka ke mobilnya, serta secepatnya meluncur ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, bunda tua itu tidak putus-putusnya mendoakan kebaikan serta keberkahan untuk Khalid serta keluarganya.

Tidak lama kemudian, mereka pun hingga ke rumah sakit. Seusai menyelesaikan urusan administrasinya, gadis itu kemudian dimasukkan ke dalam ruang operasi untuk menjalani operasi cesar, sebab ia tidak mungkin melahirkan dengan cara normal.

Karena ingin berbuat baik, Khalid merasa tidak lebih enak apabila segera berangkat serta meninggalkan bunda tua itu bersama putrinya di sana sebelum ia merasa yakin betul bakal keberhasilan operasi itu serta bayi yang dikandungnya keluar dengan selamat. Ia pun memberi tau terhadap bunda tua itu bahwa ia bakal menunggunya di ruang tunggu pria.

Ia meminta pada bunda itu untuk mengabarinya apabila operasi itu berakhir serta proses melahirkan itu sukses dengan selamat. Khalid kemudian menghubungi istrinya serta memberi tau bahwa ia bakal sedikit telat pulang ke rumah. Ia menenangkan istri bahwa ia baik-baik saja.

Khalid pun duduk di ruang menantikan khusus pria. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok, serta kelihatannya ia sangat mengantuk. Ia pun tertidur tanpa ia sadari. Khalid tidak sempat tahu berapa lama waktu berlangsung selagi ia tertidur. Tetapi yang ia ingat betul merupakan pemandangan yang tidak bakal sempat ia lupakan untuk selamanya.

Ketika ia tiba-tiba tersadar oleh suara dokter jaga serta dua petugas keamanan yang mendekatinya, sementara si bunda tua tadi berteriak-teriak sambil menunjuk ke arahnya: “Itu dia! Itu dia!”

Khalid sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia berdiri dari tempat duduknya serta segera mendatangi bunda tua itu, lalu berkata: “Apakah proses kelahirannya berhasil, Bu?”

Dan sebelum bunda tua itu mengucapkan sesuatu, seorang petuga keamanan mendekatinya serta bertanya: “Anda Khalid?”, “Ya benar”, jawabnya. “Kami ingin Kamu datang kini juga ke ruang kepala keamanan!”, ucap si petugas.

Semuanya akhirnya masuk ke ruang kepala keamanan serta mengunci pintunya. Ketika itulah, bunda tua itu kembali berteriak serta memukul-mukul badannya sendiri. Ia mengatakan: “Inilah penjahat keji itu! Aku harap anda tidak melepaskan serta membiarkannya pergi! Duhai malangnya nasibmu, wahai putriku!”

Khalid hanya bisa terkejut penuh kebingungan, tidak memahami apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Ia tidak sadar dari kebingungannya kecuali seusai polisi itu mengatakan:

“Ibu tua ini mengaku bahwa engkau telah berzina dengan putrinya. Engkau telah memperkosanya hingga hamil. Lalu ketika ia mengancammu untuk mengabarkan ini pada polisi, engkau berjanji bakal menikahinya. Tetapi seusai melahirkan, anda bakal meletakkan anak bayi itu di pintu salah satu mesjid supaya ada orang baik yang mau mengambilnya untuk membawanya ke panti sosial!”

Khalid sangatlah terkejut mendengarkan ucapan itu. Dunia menjadi gelap di matanya. Ia tidak lagi bisa menonton apa yang ada di depannya. Kalimat-kalimatnya tertahan di kerongkongannya. Hingga tiba-tiba saja ia terjatuh, tidak sadarkan diri.

Tidak lama kemudian, Khalid tersadar dari pingsannya. Ia menonton dua orang petugas keamanan bersama di dalam ruangan itu. Seorang polisi khusus yang ada di situ segera mengajukan pertanyaan untuknya:

“Khalid, coba hinggakan yang sebenarnya. Sebab kalau kami menonton sosokmu, nampaknya engkau merupakan seorang yang terhormat. Penampilanmu menunjukkan bahwa engkau bukanlah pelaku yang melakukan kejahatan semacam ini.”

Dengan hati yang sangat hancur, Khalid mengatakan:

“Tuan-tuan, apakah semacam balasan untuk sebuah kebaikan? Apakah semacam ini kebaikan itu dibalas? Aku merupakan seorang pria terhormat serta baik-baik. Aku telah menikah serta punya tiga orang anak: Sami, Su’ud serta Hanadi. Serta aku tinggal di lingkungan baik-baik.”

Khalid tidak bisa menguasai dirinya. Air matanya mengalir deras dari kedua pelupuk matanya. Kemudian ketika ia mulai tenang, ia pun menceritakan kisahnya dengan bunda tua serta putrinya itu dengan cara lengkap.

Dan ketika Khalid berakhir memberi tau informasinya, polisi itu mengatakan padanya:

“Tenanglah! Aku percaya bahwa engkau tidak bersalah. Tapi persoalannya merupakan semuanya wajib berlangsung sesuai prosedur. Wajib ada bukti yang menunjukkan ketidakbersalahanmu dalam persoalan ini. Perkaranya sangat mudah dalam permasalahan ini. Kami hanya bakal melakukan berbagai pemeriksaan laboratorium medis khusus yang bakal menyingkap hakikat sebenarnya.”

“Hakikat apa?” potong Khalid, “Hakikat bahwa aku tidak bersalah serta seorang yang terhormat? Apakah anda tidak mempercayaiku?”

Keesokan paginya, selesailah pengambilan sampel sperma milik Khalid untuk kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa serta diteliti. Khalid duduk bersama polisi khusus di sebuah ruangan lain. Ia tidak putus-putusnya berdoa serta meminta terhadap Allah supaya menunjukkan apa yang sebetulnya telah terjadi.

Kurang lebih dua jam kemudian, datanglah hasil pemeriksaan tersebut. Hasilnya sungguh mengejutkan. Pemeriksaan itu menunjukkan bahwa Khalid sama sekali tidak bersalah dalam persoalan ini. Itu sepenuhnya merupakan tuduhan dusta.

Khalid tidak kuasa menahan rasa gembiranya. Ia bersujud terhadap Allah sebagai ungkapan rasa syukurnya sebab Ia telah menunjukkan ketidakbersalahannya dalam permasalahan itu. Petugas polisi itupun meminta maaf atas gangguan yang mereka munculkan. Kemudian si bunda tua serta putrinya itupun ditangkap serta dibawa ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Sebelum meninggalkan rumah sakit, Khalid berusaha untuk berpamitan terhadap dokter spesialis yang telah melakukan pemeriksaan tersebut, sebab telah menjadi sebab kebebasannya dari tuduhan keji itu.

Ia pun berangkat menemui sang dokter di ruangannya untuk berpamitan serta berterima kasih. Tetapi dokter itu justru memberikan berita kejutan padanya:

“Jika Kamu berkenan, saya ingin berkata dengan Kamu dengan cara khusus berbagai menit.”

Dokter itu nampak agak gugup, lalu semacam berusaha mengumpulkan keberaniannya ia berkata:

“Khalid, sebetulnya dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, saya khawatir Kamu mengidap sebuah penyakit! Tapi saya belum bisa memastikannya. Sebab itu saya harap Kamu berkenan untuk melakukan berbagai pemeriksaan lagi untuk istri serta anak-anak Kamu supaya saya bisa memastikannya dengan yakin.”

Dengan perasaan serta raut wajah penuh keterkejutan serta kekhawatiran, Khalid pun berkata:

“Dokter, tolong kabarkan pada apa yang sedang kuderita, aku rela menerima semua takdir Allah bagiku. Yang terpenting bagiku merupakan anak-anakku yang tetap kecil. Aku siap mengorbankan apa saja untuk mereka.”

Lalu ia menangis tersedu-sedu. Dokter berusaha untuk menenangkannya serta berkata:

“Sebenarnya saya tidak bisa mengabari Kamu kini hingga saya sangatlah yakin dengan faktor itu. Boleh sehingga keraguanku tidak pada tempatnya. Tapi segeralah bawa ketiga anakmu ke sini untuk pemeriksaan.”

Beberapa jam kemudian, Khalid pun mengangkat istri serta anak-anaknya ke rumah sakit itu. Selanjutnya mereka diperiksa serta diambil sampel-sampelnya yang diperlukan untuk pemeriksaan laboratorium. Seusai itu, ia mengangkat mereka pulang lalu ia kembali lagi ke rumah sakit untuk menemui dokter itu lagi. Ketika mereka berdua sedang mengobrol, tiba-tiba telefon genggam Khalid berbunyi. Ia mengangkatnya serta berkata terhadap orang yang menelponnya berbagai menit.

Kemudian seusai selesai, ia kembali melanjutkan pembicaraannya dengan dokter yang mendahuluinya dengan pertanyaan: “Siapa orang yang padanya kau hinggakan untuk tidak membongkar pintu apartemen itu?”

“Ia adikku, Hamd. Ia tinggal bersama kami dalam satu apartemen. Ia telah menghapus kuncinya serta memintaku untuk segera pulang supaya bisa membuka kunci pintu yang tertutup itu,” jawab Khalid.

“Sejak kapan ia tinggal bersama kalian?” tanya dokter heran.

“Sejak empat tahun yang lalu,” jawab Khalid. “Saat ini, ia sedang menyelesaikan tahun terbarunya di universitas.”

“Bisakah engkau menghadirkannya pula besok untuk juga diperiksa? Kami ingin memastikan apakah penyakit ini keturunan alias bukan?” tanya dokter.

“Dengan bahagia hati, besok kami bakal hadir ke sini bersama,” jawab Khalid.

Pada waktu yang telah ditentukan, Khalid serta Hamd, adiknya, hadir di rumah sakit. Serta akhirnya berakhir pula pemeriksaan laboratorium terhadap sang adik. Dokter kemudian meminta Khalid untuk menemuinya satu pekan dari kini untuk mengenal hasil akhirnya.

Sepanjang pekan itu, Khalid nasib dalam kegalauan serta kegelisahan. Pada waktu yang dijanjikan, Khalid pun datang pada minggu berikutnya. Dokter menyambutnya dengan hangat. Ia juga memesankan segelas lemon untuknya supaya ia lebih tenang. Dokter mengawali penjelasannya dengan mengingatkan Khalid alangkah pentingnya bersabar menghadapi musibah, serta terbukti demikianlah dunia itu.

Khalid memotong pembicaraan dokter itu dengan mengatakan:

“Tolong, Dokter, Kamu jangan membakar tubuhku lebih lama lagi. Aku telah siap untuk menanggung penyakit apapun yang menimpaku. Ini telah menjadi takdir Allah untukku. Apa yang sebetulnya telah terjadi, Dokter?”

Dokter itu menganggukkan kepalanya lau berkata:

“Seringkali, hakikat yang sebetulnya itu begitu menyakitkan, keras serta pahit! Tapi wajib diketahui serta dihadapi! Sebab lari dari persoalan tidak bakal menyelesaikannya serta tidak bakal merubah keadaan”

Dokter itu terdiam sebentar. Lalu ia pun memberi tau yang sebenarnya:

“Khalid, mohon maaf, sebetulnya Kamu itu mandul serta tidak bisa punya anak, Ketiga anak itu bukan anak Anda. Mereka merupakan anak adik Anda, Hamd.”

Khalid tidak sanggup mendengarkan kenyataan pahit itu. Ia berteriak histeris hingga teriakannya memenuhi penjuru rumah sakit. Lalu ia jatuh tidak sadarkan diri.

Dua minggu kemudian, barulah ia sadar dari ketidaksadarannya yang panjang. Tetapi ketika ia sadar, ia telah menemukan hidupnya hancur berkeping-keping.

Khalid mengalami stroke di setengah tahap tubuhnya. Kewarasannya hilang dampak berita yang menyakitkan itu. Ia akhirnya dipindahkan ke rumah sakit jiwa untuk melalui hari-harinya yang tersisa.

Adapun istrinya, jadi ia telah diserahkan terhadap Mahkamah Syariat untuk membenarkan pengakuannya lalu dihukum dengan hukum rajam hingga mati.

Sedangkan adiknya, Hamd, ia kini berada di dalam penjara menantikan keputusan hukum yang sesuai dengan kejahatannya. Sedangkan ketiga anak itu, mereka dipindahkan ke panti sosial untuk akhirnya nasib bersama anak-anak yatim serta mereka yang dipungut dari jalanan. Begitulah, sunnatullah berlaku: “Ipar itu merupakan maut.” “Dan engkau tidak bakal menemukan perubahan pada ketentuan Allah.” (makintau)